Kamis, 18 April 2013

Makalah Pembangunan Masyarakat Kota

BAB I
PENDAHULUAN


A.           LATAR BELAKANG
Masalah kemiskinan di Indonesia saat ini dirasakan sudah sangat mendesak untuk ditangani, khususnya di wilayah perkotaan. Salah satu ciri umum dari kondisi masyarakat yang miskin adalah tidak memiliki sarana dan prasarana dasar perumahan dan permukiman yang memadai, kualitas lingkungan yang kumuh, tidak layak huni. Kemiskinan merupakan persoalan struktural dan multidimensional, mencakup politik, sosial, ekonomi, aset dan lain-lain. Sehingga secara umum “Masyarakat Miskin” sebagai suatu kondisi masyarakat yang berada dalam situasi kerentanan, ketidak berdayaan, keterisolasian, dan ketidak mampuan untuk menyampaikan aspirasinya. Situasi ini menyebabkan mereka tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan minimal kehidupannya secara layak (manusiawi). Program penanggulangan kemiskinan yang dievaluasi meliputi, Program Pengembangan Kecamatan (PPK), dan Proyek Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP), yang dikategorikan sebagai Program Kerja Mandiri (Self Employment Program), dan Proyek Pembangunan Fisik dalam program PPK yang dikategorikan sebagai Program Padat Karya (Public Work Progam).
Menurut G. Adler-Karlsson, (1981), kemiskinan perkotaan adalah fenomena yang mulai dipandang sebagai masalah serius, terutama dengan semakin banyaknya permasalahan ekonomi yang ditimbulkannya. Modernisasi dan industrialisasi sering kali dituding sebagai pemicu, Diantara beberapa pemicu yang lain, perkembangan daerah perkotaan secara pesat mengundang terjadinya urbanisasi dan kemudian komunitas-komunitas kumuh atau daerah kumuh yang identik dengan kemiskinan perkotaan.
Di samping itu, ada hal lain yang mendorong untuk mengkaji kemiskinan penduduk, yaitu mencari jalan untuk mengentaskan kelompok miskin tersebut. Sejauh ini usaha untuk itu sudah cukup banyak, namun hasilnya masih belum memuaskan. Ada beberapa hal yang menyebabkan kurang berhasilnya usaha-usaha itu. Salah satu di antaranya adalah kurang tepatnya mengidentifikasi kemiskinan dalam arti menelaah berbagai hal yang berkait dengan kemiskinan. Tanpa ada data yang akurat yang berkaitan dengan kemiskinan itu maka akan sulit untuk mengusahakan pengentasan kemiskinan secara baik.

B.            RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalahnya adalah : Bagaimana pelaksanaan program yang di gulirkan untuk memberdayakan masyarakat serta melaksanakan partisipasi masyarakat dalam pengentasan kemiskinan?

C.           TUJUAN
Tujuan yang ingin dicapai dengan pembuatan makalah ini yaitu memberikan informasi mengenai permasalahan perkotaan dalam bidang perekonomian, sehingga masyarakat menyadari begitu banyak permasalahan yang terjadi pada masyarakat perkotaan yang harus segera diatasi dan dicari pemecahannya.

D.           MANFAAT
Semoga makalah ini dapat menambah wawasan mengenai permasalahan yang terjadi di perkotaan pada bidang perekonomian beserta pemecahan masalahnya. Dan juga, makalah ini sangat diharapkan dapat bermanfaat bagi pembaca.


BAB II
PEMBAHASAN


A.    PENGERTIAN
Masyarakat adalah suatu kelompok manusia yang telah memiliki tatanan kehidupan, norma-norma adat yang sama-sama di taati dalam lingkungannya.Tatanan
kehidupan, norma-norma yang mereka miliki itulah yang menjadi dasar kehidupan sosial dalam lingkungan mereka, sehingga dapat membentuk suatu kelompok manusia yang memiliki cirri kehidupan yang khas.
Masyarakat itu timbul dalam setiap kumpulan individu, yang telah lama hidup dan bekerja sama dalam waktu yang cukup lama.
Masyarakat perkotaan sering disebut juga Urban Community. Pengertian masyarakt kota lebih ditekankan pada sifat-sifat kehidupannya serta ciri-ciri kehidupannya yang berbeda dengan masyarakat pedesaan.
Perhatian masyarakat perkotaan tidak terbatas pada aspek-aspek seperti pakaian, makanan dan perumahan, tetapi mempunyai perhatian yang lebih luas lagi. Masyarakat perkotaan sudah memandang kebutuhan hidup, artinya tidak hanya sekedarnya atau apa adanya. Hal ini disebabkan karena pengaruh pandangan warga kota sekitarnya. Misalnya dalam hal menghidangkan makanan, yang di utamakan adalah bahwa makanan yang di hidangkan tersebut memberikan kesan bahwa yang menghidangkannya memiliki kedudukan sosial yang tinggi. Demikian pula masalah pakaian masyarakat kota memandang pakaian pun sebagai alat kebutuhan sosial. Bahkan pakaian yang di pakai merupakan perwujudan dari kedudukan sosial si pemakai.
Sistem perekonomian kota tidak terpusat pada satu jenis saja, melainkan sangat bervariasi. Di kota terdapat berbagai macam sistem produksi, baik yang mengolah bahan mentah, barang setengah jadi, maupun barang jadi. Industri dilakukan secara terus menerus dan besar-besaran, dengan tenaga manusia, mesin, maupun dengan komputer.
Di kota besar terdapat banyak perkerjaan-pekerjaan yang menuntut keahlian khusus, sehingga tidak semua warga kota dapat melakukannya. Misalnya : Arsitektur, Insinyur - mesin, sarjana politik, pemegang buku dan sebagainya. Walaupun demikian tidaklah berarti bahwa pekerjaan di kota adalah pekerjaan hanya menekankan pada keahlian yang tersepesialisasi dan pekerjaan otak saja. Tetapi ada juga pekerjaan-pekerjaan yang menekankan kemampuan tenaga kasar saja. Misalnya : kuli bangunan, tukang becak.
Mobilitas sosial di kota jauh lebih besar dari pada di desa. Di kota, seseorang memiliki kesempatan lebih besar untuk mengalami mobilitas sosial, baik vertical maupun horizontal.
Bagi masyarakat kota kepercayaan kepada Tuhan YME (kehidupan magis religius) biasanya cukup terarah dan di tekankan pada pelaksanaan ibadah. Upacara-upacara keagamaan sudah berkurang, demikian pula upacara-upacara adat sudah menghilang. Hal ini di sebabkan bahwa msyarakat kota sudah menekankan pada rasional pikir dan bukan pada emosionalnya. Semua kegiatan agama, adat berlandaskan pada pengetahuan dan pengalaman yang mereka miliki.
Mobilitas sosial di kota jauh lebih besar dari pada di desa. Di kota, seseorang memiliki kesempatan yang lebih besar untuk mengalami mobilitas sosial, baik vertical maupun horisontal.
Dari uraian di atas maka dapatlah di simpulkan secara singkat bahwa dari ciri-ciri masyarakat kota adalah sebagai berikut :
    1. Heterogenitas sosial
Kota merupakan metting pot bagi aneka suku maupun ras, sehingga masing-masing kelompok berusaha di atas kelompok lain. Maka dari itu sering terjadi usaha untuk memperkuat kelompoknya untuk melebihi kelompok yang lain.
    1. Hubungan sekunder
Dalam masyarakat kota pergaulan dengan sesama anggota (orang lain)
    1. Toleransi sosial
Masyarakat kota tidak memperdulikan tingkah laku sesamanya dan pribadi sebab masing-masing anggota mempunyai kesibukan sendiri. Sehingga kontrol sosial pada masyarakat kota dapat di katakana lemah sekali dan non pribadi.
    1. Kontrol sekunder
Anggota masyarakat kota secara fisik tinggal berdekatan, tetapi secara pribadi atau sosial berjauhan. Dimana bila ada anggota masyarakat yang susah, senang, jahad, dan lain sebagainya, anggota masyarakat yang lain tidak mau mengerti.
    1. Mobilitas sosial
Di kota sangat mudah sekali terjadi perubahan maupun perpindahan status, tugas maupun tempat tinggal.
    1. Individual
Akhibat hubungan sekunder, maupun kontrol sekunder, maka kehidupan masyarakat di kota menjadi individual. Apakah yang mereka inginkan dan rasakan, harus mereka rencana dan laksanakan sendiri. Bantuan dan kerja sama dari anggota masyarakat yang lainsulit untuk di harapkan.
    1. Ikatan suka rela
Walaupun hubungan sosial bersifat sekunder, tetapi dalam organisasi tertentu yang mereka sukar. (kesenian, olahraga, politik) secara sukarela ia menggabungkan diri menggabungkan dan berkorban.
    1. Segregasi kekurangan
Akibat dari integritas sosial dan kompetisi ruang terjadi pola sosial, ras, dan kompetisi ruang, terjadi pola sosial yang berdasarkan pada sosial ekonomi, ras, agama, suku bangsa dan sebagainya. Maka dari itu akhirnya terjadi pemisahan temat tinggal dalam kelompok-kelompok tertentu.

B.     SIFAT-SIFAT MASYARAKAT KOTA
Masyarakat kota adalah masyarakat yang anggota-anggotanya terdiri dari manusia yang bermacam-macam lapisan/tingkatan hidup, pendidikan, kebudayaan, perekonomian, dan lain-lain. Mayoritas penduduknya hidup berjenis-jenis usaha yang bersifat non agraris.
Yang dapat dirasakan sistem kehidupan masyarakat kota mempunyai corak-corak kehidupan tertentu yang jauh berbeda apabila dibandingkan dengan masyarakat desa.
Sifat-sifat yang tampak menonjol pada masyarakat kota ialah:
1.      Sikap Kehidupan
Sikap hidupnya cenderung pada individuisme/egoisme. Yaitu masing-masing anggota masyarakat berusaha sendiri-sendiri tanpa terikat oleh anggota masyarakat lainnya, hal mana yang menggambarkan corak hubungan yang terbatas, di mana setiap individu mempunyai otonomi jiwa atau kemerdekaan pribadi sebagaimana yang disebut oleh Prof. Djojodiguno, S. H. dengan istilahnya masyarakat Patembayan atau sama dengan yang dimaksud oleh Sosiologi Jerman Ferdinand Tonnies yang terkenal dengan istilahnya Gesselschaft.
2.      Tingkah Laku
Tingkah lakunya bergerak maju mempunyai sifat kreatif, radikal, dan dinamis. Dari segi budaya masyarakat kota umumnya mempunyai tingkatan budaya yang lebih tinggi, karena kreativitas dan dinamikanya kehidupan kota lebih cepat mengadakan reaksi, lebih cepat menerima mode-mode dan kebiasaan-kebiasaan baru.
3.      Perwatakan-perwatakan
Perwatakannya cenderung pada sifat materialistis. Akibat dari sikap hidup yang egoism dan pandangan hidup yang radikal dan dinamis, menyebabkan masyarakat kota lemah dalam segi religi, yang menimbulkan efek-efek negative yang berbentuk tindakan amoral, indisipliner, kurang memperhatikan tanggungjawab sosial.

C.    SIKAP HIDUP DAN TINGKAH LAKU MASYARAKAT KOTA
Untuk memberikan gambaran secara tertib dan jelas tentang kehidupan masyarakat kota sebagaimana yang tercantum dalam pasal-pasal terdahulu/tinjauan umum, berikut ini akan diuraikan sebagai berikut.
1.      Sikap Hidup Masyarakat Kota
Sikap hidup masyarakat kota pada umumnya mempunyai taraf hidup yang lebih tinggi daripada masyarakat desa. Hal ini menuntut lebih banyak biaya hidup sebagai alat pemuas kebutuhan yang tiada terbatas yang mana menyebabkan orang berlomba-lomba mencari usaha/kesibukan, mencari nafkah demi kelangsungan hidup pribadi/keluarganya.
Akibatnya, timbullah sikap pembatasan diri di dalam pergaulan masyarakat dan terpupuklah faham mementingkan diri sendiri yang akhirnya timbullah sikap individualism/egoisme.
2.      Tingkah Laku
Tingkah lakunya sebagaimana yang telah diuraikan, bahwa untuk mencapai usaha ke arah pemmenuhan materi dibutuhkan adanya daya upaya yang menuntut akal pikiran atau rasio yang mantap. Di dalam masyarakat kota, mengingat banyaknya fasilitas-fasilitas yang tersedia, memungkinkan masyarakat kota meningkatkan pengetahuan mereka dalam berbagai bidang, terutama dalam bidang perekonomian.
3.      Pandangan Hidupnya
Pandangan hidupnya menjurus pada materialistis. Nampak jelas dari sikap hidup maupun tingkah laku masyarakat kota menjurus kepada mementingkan diri pribadi, yang mana mengakibatkan mereka untuk mengabaikan faktor-faktor sosial dalam lingkungan masyarakat sekitarnya.
Hal lain yang berpengaruh besar terhadap masyarakat kota di bidang perekonomiannya dimana income per kapitanya sebagian lebih besar, maka kemampuan membelinya juga lebih besar, sehingga maksud membeli barang-barang mewah kemungkinan besar tinggi karena dapat menjangkau harga yang lebih tinggi.

D.    MASALAH-MASALAH PERKOTAAN
1.      Pengangguran, terutama disebabkan oleh derasnya arus urbanisasi. Sebagian besar mereka yang urbanisasi tidak memiliki keterampilan, sehingga mereka hanya bekerja sebagai buruh kasar
2.      Degradasi moral dan kejahatan, degradasi moral yang sering terjadi adalah berkumpul sebelum menikah, pelacuran, narkotika, seakan-akan mempunyai legalitas tertentu bagi masyarakat kota. Menegur dan memberi nasihat satu sama lain sudah dianggap mencampuri urusan orang lain, sehingga sangat jarang terjadi reaksi terhadap pelanggaran-pelanggaran moral tersebut.
3.      Keadaan ekonomi yang sampai sekarang belum dapat disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan manusia.
4.      Ada beberapa orang yang terus-menerus mengumpulkan harta bendanya tanpa memikirkan keadaan yang miskin. Lambat laun perbedaan antara yang miskin dan yang kaya makin lama makin besar, sehingga pemikiran-pemikiran seperti kaum sosialis berpendapat seperti Karl Marx, bahwa yang kaya menjadi lebih kaya, dan yang miskin menjadi lebih miskin.

E.     TINJAUAN MENGENAI PERKEMBANGAN STRATEGI PEMBANGUNAN
Pembangunan ekonomi mula-mula menggunakan tahap “strategi pertumbuhan” dengan berusaha mengejar kenaikan produksi nasional setinggi mungkin. Strategi tersebut mula-mula juga dikenal dengan istilah “Growth Strategy on GNP Oriented”. Dalam pertunbuhan ini, kurang diperhatikan siapa yang berdominasi dalam kegiatan investasi modal maupun perdagangan. Untuk memungkinkan Growth Strategy ini berkembang prasyarat stabilitas moneter justru sangat menentukan. Pada mulanya pengejaran terhadap target GNP yang semata-mata dapat naik memang menakjubkan. Tetapi sejarah membuktikan, bahwa pada Negara-negara sedang berkembang dengan penduduk yang sangat besar, ternyata keadaan ini belum memberikan kesempatan yang cukup untuk golongan kecil terbesar dari penduduk dalam menikmati hasil pembangunan ini. Karena kenaikan GNP sesungguhnya lebih banyak oleh faktor semu, karenakeberhasilan golongan besar yang kecil yang telah mendominir segala-galanya di Negara itu.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak selalu mencerminkan distribusi pendapatan yang adil dan merata, karena pertumbuhan ekonomi yang tinggi ini hanya dinikmati oleh sekelompok kecil masyarakat, seperti masyarakat perkotaan, sedangkan masyarakat pedesaan atau pinggiran mendapat porsi yang kecil dan tertinggal. Kesenjangan di daerah ini semakin diperburuk karena adanya kesenjangan dalam pembangunan antar sektor, terutama antara sektor pertanian (basis ekonomi pedesaan) dan non-pertanian (ekonomi perkotaan).


F.     UPAYA UNTUK MENGATASI MASALAH EKONOMI
Ekonomi masyarakart biasanya lebih baik dari pada msyarakat desa. Namun masih perlu di kembangkan dan tumbuhkan.misalnya masalah kerajinan rumah tangga, industri kecil mapun masalah perkoperasian.
Untuk mengembangkan kota secara terus-menerus perlu dijaga dan dikembangkan sarana dan prasarana kota itu sendiri dengan baik. Misalnya pembangunan jalan pengaturan lalu lintas dan trnaportasi, pengaturan sekolah-sekolah serta penghijauan kota.
Membantu memberikan kredit investasi kecil bagi para pedangang berkapital lemah, sehingga dapat diharapkan menignkatkan usaha (ekonomi) mereka, dan peningkatan pembangunan pasar-pasar baru (Inpres) agar dapat diusahakan menampung aspirasi permasalahan pedagang kaki lima dan lain sebagainya.
1. Partisipasi
Menurut Menurut Adams Charles (1993), partisipasi masyarakat dalam pembangunan mutlak diperlukan, tanpa adanya partisipasi masyarakat pembangunan hanyalah menjadikan masyarakat sebagai objek semata. Salah satu kritik adalah masyarakat merasa “tidak memiliki” dan “acuh tak acuh” terhadap program pembangunan yang ada. Penempatan masyarakat sebagai subjek pembangunan mutlak diperlukan sehingga masyarakat akan dapat berperan serta secara aktif mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga monitoring dan evaluasi pembangunan. Terlebih apabila kita akan melakukan pendekatan pembangunan dengan semangat lokalitas. Masyarakat lokal menjadi bagian yang paling memahami keadaan daerahnya tentu akan mampu memberikan masukan yang sangat berharga.
Midgley (1986) menyatakan bahwa partisipasi bukan hanya sekedar salah satu tujuan dari pembangunan sosial tetapi merupakan bagian yang integral dalam proses pembangunan sosial. Partisipasi masyarakat berarti eksistensi manusia seutuhnya. Tuntutan akan partisipasi masyarakat semakin menggejala seiring kesadaran akan hak dan kewajiban warga negara. Kegagalan pembangunan berperspektif modernisasi yang mengabaikan partisipasi negara miskin (pemerintah dan masyarakat) menjadi momentum yang berharga dalam tuntutan peningkatan partisipasi negara miskin, tentu saja termasuk di dalamnya adalah masyarakat. Menurut Adams Charles (1993), tuntutan ini semakin kuat seiring semakin kuatnya negara menekan kebebasan masyarakat. Post-modernisme dapat dikatakan sebagai bentuk perlawanan terhadap modernisme yang dianggap telah banyak memberikan dampak negatif daripada positif bagi pembangunan di banyak negara berkembang. Post-modernisme bukan hanya bentuk perlawanan melainkan memberikan jawaban atau alternatif model yang dirasa lebih tepat. Pembangunan dengan basis pertumbuhan ekonomi yang diusung oleh paradigma modernisme memiliki banyak kekurangan dan dampak negatif. Kesenjangan antar penduduk mungkin saja terjadi sehingga indikator pertumbuhan ekonomi hanya mencerminkan keberhasilan semu saja. Akumulasi modal yang berhasil dihimpun sebagian besar merupakan investasi asing yang semakin memuluskan jalannya kapitalisme global.
2. Pemberdayaan
Sunyoto Usman (2003) mengungkapkan bahwa pembangunan yang dilakukan oleh suatu negara pada saat ini tidak akan dapat lepas dari pengaruh globalisasi yang melanda dunia. Persolan politik dan ekonomi tidak dapat lagi hanya dipandang sebagai persoalan nasional. Keterkaitan antar negara menjadi persoalan yang patut untuk diperhitungkan. Masalah ekonomi atau politik yang dihadapi oleh satu negara membawa imbas bagi negara lainnya dan permasalahan tersebut akan berkembang menjadi masalah internasional.
Menurut Soejadi (2001), kemiskinan merupakan salah satu masalah yang selalu dihadapi oleh manusia. Kemiskinan dapat didefinisikan sebagai suatu standar tingkat hidup yang rendah, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Standar kehidupan yang rendah ini secara langsung tampak pengaruhnya terhadap tingkat keadaan kesehatan, kehidupan moral, dan rasa harga diri dari mereka yang tergolong sebagai orang miskin. Di negara-negara sedang berkembang, wacana pemberdayaan muncul ketika pembangunan menimbulkan disinteraksi sosial, kesenjangan ekonomi, degradasi sumber daya alam, dan alienasi masyarakat dari faktor produksi oleh penguasa (Prijono, 1996).
Menurut Maria Fraskho, (2000), konsep pemberdayaan lahir sebagai antitesis terhadap model pembangunan dan model industralisasi yang kurang memihak pada rakyat mayoritas. Konsep ini dibangun sebagai kerangka logik sebagai berikut; (1). Proses pemusatan  kekuasaan terbangunan dari pemusatan penguasaan faktor produksi; (2). Pemusatan kekuasaan faktor produksi akan melahirkan masyarakat pekerja dan masyarakat pengusaha pinggiran; (3). Keuasaan akan membangun bangunan atas atau sistem pengetahuan, sistem politik, sistem hukum dan ideologi yang manipulatif, untuk memperkuat legitimasi; (4). Kooptasi sistem pengetahuan, sistem hukum sistem politik dan ideologi, secara sistematik akan menciptakan dua kelompok masyarakat, yaitu masyarakat berdaya dan masyarakat tunadaya. Akhirnya yang terjadi adalah dikotomi, yaitu masyarakat yang berkuasa dan disisi lain manusia dikuasai. Untuk membebaskan situasi menguasai dan dikuasai, maka harus dilakukan pembebesan melalui proses pemberdayaan bagi yang dikuasai (empowerment of the powerless).
Menurut John Friedman (1991), Pemberdayaan dapat diartikan sebagai perolehan kekuatan dan akses terhadap sumber daya untuk mencari nafkah. Bahkan dalam perspektif ilmu politik, kekuatan menyangkut pada kemampuan untuk mempengaruhi orang lain. Istilah pemberdayaan sering dipakai untuk menggambarkan keadaan seperti yang diinginkan oleh individu, dalam keadaan tersebut masing-masing individu mempunyai pilihan dan kontrol pada semua aspek kehidupannya. Menurut Sastroputo Santoso, (1998), konsep ini merupakan bentuk penghargaan terhada manusia atau dengan kata lain “memanusiakan manusia”. Melalui pemberdayaan akan timbul pergeseran peran dari semula “korban pembangunan” menjadi “pelaku pembangunan”. Perpektif pembangunan memandang pemberdayaan sebagai sebuah konsep yang sangat luas. Pearse dan Stiefel dalam Prijono (1996) menjelaskan bahwa pemberdayaan partisipatif meliputi menghormati perbedaan, kearifan lokal, dekonsentrasi kekuatan dan peningkatan kemandirian.
3. Partisipasi dan Pemberdayaan
Menurut Hadiwinata dan Bob S (2003), Partisipasi dan pemberdayaan merupakan dua buah konsep yang saling berkaitan. Untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat diperlukan upaya berupa pemberdayaan. Masyarakat yang dikenal “tidak berdaya” perlu untuk dibuat “berdaya” dengan menggunakan berbagai model pemberdayaan. Dengan proses pemberdayaan ini diharapkan partisipasi masyarakat akan meningkat. Partisipasi yang lemah dapat disebabkan oleh kekurangan kapasitas dalam masyarakat tersebut, sehingga peningkatan kapasitas perlu dilakukan.
Sedangkan menurut Evers Hans-Dieter (1993), pemberdayaan yang memiliki arti sangat luas tersebut memberikan keleluasaan dalam pemahaman dan juga pemilihan model pelaksanannya sehingga variasi di tingkat lokalitas sangat mungkin terjadi. Menurut Moeljarto (1997), konsep partisipasi dalam pembangunan di Indonesia mempunyai tantangan yang sangat besar. Model pembangunan yang telah kita jalani selama ini tidak memberikan kesempatan pada lahirnya partisipasi masyarakat. Menurut Purnaweni Hartuti oleh karenanya diperlukan upaya “membangkitkan partisipasi” masyarakat tersebut. Solusi yang bisa dilakukan adalah dengan memberdayakan masyarakat sehingga masyarakat akan berpartisipasi secara langsung terhadap pembangunan.

Membangun Ekonomi Kerakyatan dan Penyerapan Tenaga Kerja
Pembangunan di bidang ekonomi seharusnya lebih difokuskan pada penguatan ekonomi berbasis kerakyatan dengan menumbuhkan semangat wirausaha , menciptakan iklim usaha yang kondusif, pembinaan koperasi dan unit-unit ekonomi kerakyatan lainnya, hingga upaya-upaya untuk mempermudah akses modal dan akses pasar bagi produk-produk usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).
Upaya menekan angka pengangguran dan penyaluran angkatan kerja perlu dilakukan dengan menggalang kerjasama yang baik dengan sektor swasta dan masyarakat, diantaranya dengan pembukaan Balai Latihan Kerja (BLK) dan pengembangan sekolah-sekolah kejuruan dengan konsep link and match dengan pasar tenaga kerja, serta melakukan kerjasama dengan lembaga-lembaga pendidikan dan ketrampilan lokal untuk menghasilkan tenaga kerja yang trampil dan atau memiliki motivasi kuat untuk berwirausaha dan membuka lapangan kerja bagi orang lain.


BAB III
PENUTUP


A.    KESIMPULAN
Pendekatan dan bantuan yang sifatnya pengembangan, umumnya berbentuk pembentukkan dan pemberdayakan kelompok usaha ekonomi masyarakat baik yang berskala kecil maupun mikro. Garis besarnya, pemerintah menyuntikkan modal dan memberi pendampingan. Suatu program biasanya mencakup pula pelatihan ketrampilan, kewirausahaan, manajemen, yang disertai pula dengan pendampingan. Asal sumber dananya yang dari APBN maupun hutang dari lembaga donor seperti Bank Dunia.
Komitmen Pemerintah Kota untuk mengembangkan ekonomi rakyat tidak diragukan lagi. Setiap masyarakat dibentuk kelompok, diberi modal, motivasi berwirausaha, kapasitas manajerialnya ditingkatkan, aktivitasnya didampingi, serta dikontrol kinerjanya. masyarakat yang berkuasa dan disisi lain manusia dikuasai. Untuk membebaskan situasi menguasai dan dikuasai, maka harus dilakukan pembebesan melalui proses pemberdayaan bagi yang dikuasai (empowerment of the powerless).

B.    SARAN
Tidak lepas dari urusan pemerintah daerah adalah memberikan perhatian pada para buruh. Sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari komponen masyarakat, pemerintah perlu memberikan penghargaan berupa dukungan bagi peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan sosial para buruh dan keluarganya agar dapat mengambil peran dan berkontribusi dalam pembangunan.