BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Masalah kemiskinan di Indonesia saat
ini dirasakan sudah sangat mendesak untuk ditangani, khususnya di wilayah
perkotaan. Salah satu ciri umum dari kondisi masyarakat yang miskin adalah
tidak memiliki sarana dan prasarana dasar perumahan dan permukiman yang
memadai, kualitas lingkungan yang kumuh, tidak layak huni. Kemiskinan merupakan
persoalan struktural dan multidimensional, mencakup politik, sosial, ekonomi,
aset dan lain-lain. Sehingga secara umum “Masyarakat Miskin” sebagai suatu
kondisi masyarakat yang berada dalam situasi kerentanan, ketidak berdayaan,
keterisolasian, dan ketidak mampuan untuk menyampaikan aspirasinya. Situasi ini
menyebabkan mereka tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan minimal kehidupannya secara
layak (manusiawi). Program penanggulangan kemiskinan yang dievaluasi meliputi,
Program Pengembangan Kecamatan (PPK), dan Proyek Penanggulangan Kemiskinan
Perkotaan (P2KP), yang dikategorikan sebagai Program Kerja Mandiri (Self
Employment Program), dan Proyek Pembangunan Fisik dalam program PPK yang
dikategorikan sebagai Program Padat Karya (Public Work Progam).
Menurut G. Adler-Karlsson, (1981),
kemiskinan perkotaan adalah fenomena yang mulai dipandang sebagai masalah
serius, terutama dengan semakin banyaknya permasalahan ekonomi yang
ditimbulkannya. Modernisasi dan industrialisasi sering kali dituding sebagai
pemicu, Diantara beberapa pemicu yang lain, perkembangan daerah perkotaan
secara pesat mengundang terjadinya urbanisasi dan kemudian komunitas-komunitas
kumuh atau daerah kumuh yang identik dengan kemiskinan perkotaan.
Di samping itu, ada hal lain yang
mendorong untuk mengkaji kemiskinan penduduk, yaitu mencari jalan untuk
mengentaskan kelompok miskin tersebut. Sejauh ini usaha untuk itu sudah cukup
banyak, namun hasilnya masih belum memuaskan. Ada beberapa hal yang menyebabkan
kurang berhasilnya usaha-usaha itu. Salah satu di antaranya adalah kurang
tepatnya mengidentifikasi kemiskinan dalam arti menelaah berbagai hal yang
berkait dengan kemiskinan. Tanpa ada data yang akurat yang berkaitan dengan
kemiskinan itu maka akan sulit untuk mengusahakan pengentasan kemiskinan secara
baik.
B.
RUMUSAN
MASALAH
Berdasarkan
latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalahnya adalah : Bagaimana
pelaksanaan program yang di gulirkan untuk memberdayakan masyarakat serta
melaksanakan partisipasi masyarakat dalam pengentasan kemiskinan?
C.
TUJUAN
Tujuan
yang ingin dicapai dengan pembuatan makalah ini yaitu memberikan informasi
mengenai permasalahan perkotaan dalam bidang perekonomian, sehingga masyarakat
menyadari begitu banyak permasalahan yang terjadi pada masyarakat perkotaan
yang harus segera diatasi dan dicari pemecahannya.
D.
MANFAAT
Semoga
makalah ini dapat menambah wawasan mengenai permasalahan yang terjadi di perkotaan
pada bidang perekonomian beserta pemecahan masalahnya. Dan juga, makalah ini
sangat diharapkan dapat bermanfaat bagi pembaca.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
Masyarakat adalah
suatu kelompok manusia yang telah memiliki tatanan kehidupan, norma-norma adat
yang sama-sama di taati dalam lingkungannya.Tatanan
kehidupan,
norma-norma yang mereka miliki itulah yang menjadi dasar kehidupan sosial dalam
lingkungan mereka, sehingga dapat membentuk suatu kelompok manusia yang
memiliki cirri kehidupan yang khas.
Masyarakat itu timbul
dalam setiap kumpulan individu, yang telah lama hidup dan bekerja sama dalam
waktu yang cukup lama.
Masyarakat perkotaan
sering disebut juga Urban Community. Pengertian masyarakt kota lebih ditekankan
pada sifat-sifat kehidupannya serta ciri-ciri kehidupannya yang berbeda dengan
masyarakat pedesaan.
Perhatian masyarakat
perkotaan tidak terbatas pada aspek-aspek seperti pakaian, makanan dan perumahan,
tetapi mempunyai perhatian yang lebih luas lagi. Masyarakat perkotaan sudah
memandang kebutuhan hidup, artinya tidak hanya sekedarnya atau apa adanya. Hal
ini disebabkan karena pengaruh pandangan warga kota sekitarnya. Misalnya dalam
hal menghidangkan makanan, yang di utamakan adalah bahwa makanan yang di
hidangkan tersebut memberikan kesan bahwa yang menghidangkannya memiliki
kedudukan sosial yang tinggi. Demikian pula masalah pakaian masyarakat kota
memandang pakaian pun sebagai alat kebutuhan sosial. Bahkan pakaian yang di
pakai merupakan perwujudan dari kedudukan sosial si pemakai.
Sistem perekonomian
kota tidak terpusat pada satu jenis saja, melainkan sangat bervariasi. Di kota
terdapat berbagai macam sistem produksi, baik yang mengolah bahan mentah,
barang setengah jadi, maupun barang jadi. Industri dilakukan secara terus
menerus dan besar-besaran, dengan tenaga manusia, mesin, maupun dengan
komputer.
Di kota besar
terdapat banyak perkerjaan-pekerjaan yang menuntut keahlian khusus, sehingga
tidak semua warga kota dapat melakukannya. Misalnya : Arsitektur, Insinyur -
mesin, sarjana politik, pemegang buku dan sebagainya. Walaupun demikian
tidaklah berarti bahwa pekerjaan di kota adalah pekerjaan hanya menekankan pada
keahlian yang tersepesialisasi dan pekerjaan otak saja. Tetapi ada juga
pekerjaan-pekerjaan yang menekankan kemampuan tenaga kasar saja. Misalnya :
kuli bangunan, tukang becak.
Mobilitas sosial di
kota jauh lebih besar dari pada di desa. Di kota, seseorang memiliki kesempatan
lebih besar untuk mengalami mobilitas sosial, baik vertical maupun horizontal.
Bagi masyarakat kota
kepercayaan kepada Tuhan YME (kehidupan magis religius) biasanya cukup terarah
dan di tekankan pada pelaksanaan ibadah. Upacara-upacara keagamaan sudah
berkurang, demikian pula upacara-upacara adat sudah menghilang. Hal ini di
sebabkan bahwa msyarakat kota sudah menekankan pada rasional pikir dan bukan
pada emosionalnya. Semua kegiatan agama, adat berlandaskan pada pengetahuan dan
pengalaman yang mereka miliki.
Mobilitas sosial di
kota jauh lebih besar dari pada di desa. Di kota, seseorang memiliki kesempatan
yang lebih besar untuk mengalami mobilitas sosial, baik vertical maupun
horisontal.
Dari uraian di atas
maka dapatlah di simpulkan secara singkat bahwa dari ciri-ciri masyarakat kota
adalah sebagai berikut :
- Heterogenitas sosial
Kota merupakan
metting pot bagi aneka suku maupun ras, sehingga masing-masing kelompok
berusaha di atas kelompok lain. Maka dari itu sering terjadi usaha untuk
memperkuat kelompoknya untuk melebihi kelompok yang lain.
- Hubungan sekunder
Dalam masyarakat kota pergaulan dengan
sesama anggota (orang lain)
- Toleransi sosial
Masyarakat kota tidak
memperdulikan tingkah laku sesamanya dan pribadi sebab masing-masing anggota
mempunyai kesibukan sendiri. Sehingga kontrol sosial pada masyarakat kota dapat
di katakana lemah sekali dan non pribadi.
- Kontrol sekunder
Anggota masyarakat
kota secara fisik tinggal berdekatan, tetapi secara pribadi atau sosial
berjauhan. Dimana bila ada anggota masyarakat yang susah, senang, jahad, dan
lain sebagainya, anggota masyarakat yang lain tidak mau mengerti.
- Mobilitas sosial
Di kota sangat mudah
sekali terjadi perubahan maupun perpindahan status, tugas maupun tempat
tinggal.
- Individual
Akhibat hubungan
sekunder, maupun kontrol sekunder, maka kehidupan masyarakat di kota menjadi
individual. Apakah yang mereka inginkan dan rasakan, harus mereka rencana dan
laksanakan sendiri. Bantuan dan kerja sama dari anggota masyarakat yang
lainsulit untuk di harapkan.
- Ikatan suka rela
Walaupun hubungan
sosial bersifat sekunder, tetapi dalam organisasi tertentu yang mereka sukar.
(kesenian, olahraga, politik) secara sukarela ia menggabungkan diri
menggabungkan dan berkorban.
- Segregasi kekurangan
Akibat dari
integritas sosial dan kompetisi ruang terjadi pola sosial, ras, dan kompetisi
ruang, terjadi pola sosial yang berdasarkan pada sosial ekonomi, ras, agama,
suku bangsa dan sebagainya. Maka dari itu akhirnya terjadi pemisahan temat
tinggal dalam kelompok-kelompok tertentu.
B.
SIFAT-SIFAT
MASYARAKAT KOTA
Masyarakat kota
adalah masyarakat yang anggota-anggotanya terdiri dari manusia yang
bermacam-macam lapisan/tingkatan hidup, pendidikan, kebudayaan, perekonomian,
dan lain-lain. Mayoritas penduduknya hidup berjenis-jenis usaha yang bersifat
non agraris.
Yang dapat
dirasakan sistem kehidupan masyarakat kota mempunyai corak-corak kehidupan
tertentu yang jauh berbeda apabila dibandingkan dengan masyarakat desa.
Sifat-sifat
yang tampak menonjol pada masyarakat kota ialah:
1. Sikap
Kehidupan
Sikap hidupnya
cenderung pada individuisme/egoisme. Yaitu masing-masing anggota masyarakat
berusaha sendiri-sendiri tanpa terikat oleh anggota masyarakat lainnya, hal
mana yang menggambarkan corak hubungan yang terbatas, di mana setiap individu
mempunyai otonomi jiwa atau kemerdekaan pribadi sebagaimana yang disebut oleh
Prof. Djojodiguno, S. H. dengan istilahnya masyarakat Patembayan atau sama
dengan yang dimaksud oleh Sosiologi Jerman Ferdinand Tonnies yang terkenal
dengan istilahnya Gesselschaft.
2. Tingkah
Laku
Tingkah lakunya
bergerak maju mempunyai sifat kreatif, radikal, dan dinamis. Dari segi budaya
masyarakat kota umumnya mempunyai tingkatan budaya yang lebih tinggi, karena
kreativitas dan dinamikanya kehidupan kota lebih cepat mengadakan reaksi, lebih
cepat menerima mode-mode dan kebiasaan-kebiasaan baru.
3. Perwatakan-perwatakan
Perwatakannya
cenderung pada sifat materialistis. Akibat dari sikap hidup yang egoism dan
pandangan hidup yang radikal dan dinamis, menyebabkan masyarakat kota lemah
dalam segi religi, yang menimbulkan efek-efek negative yang berbentuk tindakan
amoral, indisipliner, kurang memperhatikan tanggungjawab sosial.
C.
SIKAP
HIDUP DAN TINGKAH LAKU MASYARAKAT KOTA
Untuk
memberikan gambaran secara tertib dan jelas tentang kehidupan masyarakat kota
sebagaimana yang tercantum dalam pasal-pasal terdahulu/tinjauan umum, berikut
ini akan diuraikan sebagai berikut.
1. Sikap
Hidup Masyarakat Kota
Sikap hidup
masyarakat kota pada umumnya mempunyai taraf hidup yang lebih tinggi daripada
masyarakat desa. Hal ini menuntut lebih banyak biaya hidup sebagai alat pemuas
kebutuhan yang tiada terbatas yang mana menyebabkan orang berlomba-lomba
mencari usaha/kesibukan, mencari nafkah demi kelangsungan hidup
pribadi/keluarganya.
Akibatnya, timbullah sikap pembatasan
diri di dalam pergaulan masyarakat dan terpupuklah faham mementingkan diri
sendiri yang akhirnya timbullah sikap individualism/egoisme.
2. Tingkah
Laku
Tingkah lakunya
sebagaimana yang telah diuraikan, bahwa untuk mencapai usaha ke arah pemmenuhan
materi dibutuhkan adanya daya upaya yang menuntut akal pikiran atau rasio yang
mantap. Di dalam masyarakat kota, mengingat banyaknya fasilitas-fasilitas yang
tersedia, memungkinkan masyarakat kota meningkatkan pengetahuan mereka dalam
berbagai bidang, terutama dalam bidang perekonomian.
3. Pandangan
Hidupnya
Pandangan
hidupnya menjurus pada materialistis. Nampak jelas dari sikap hidup maupun
tingkah laku masyarakat kota menjurus kepada mementingkan diri pribadi, yang
mana mengakibatkan mereka untuk mengabaikan faktor-faktor sosial dalam
lingkungan masyarakat sekitarnya.
Hal lain yang
berpengaruh besar terhadap masyarakat kota di bidang perekonomiannya dimana
income per kapitanya sebagian lebih besar, maka kemampuan membelinya juga lebih
besar, sehingga maksud membeli barang-barang mewah kemungkinan besar tinggi
karena dapat menjangkau harga yang lebih tinggi.
D.
MASALAH-MASALAH
PERKOTAAN
1. Pengangguran,
terutama disebabkan oleh derasnya arus urbanisasi. Sebagian besar mereka yang
urbanisasi tidak memiliki keterampilan, sehingga mereka hanya bekerja sebagai
buruh kasar
2. Degradasi
moral dan kejahatan, degradasi moral yang sering terjadi adalah berkumpul
sebelum menikah, pelacuran, narkotika, seakan-akan mempunyai legalitas tertentu
bagi masyarakat kota. Menegur dan memberi nasihat satu sama lain sudah dianggap
mencampuri urusan orang lain, sehingga sangat jarang terjadi reaksi terhadap
pelanggaran-pelanggaran moral tersebut.
3. Keadaan
ekonomi yang sampai sekarang belum dapat disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan
manusia.
4. Ada
beberapa orang yang terus-menerus mengumpulkan harta bendanya tanpa memikirkan
keadaan yang miskin. Lambat laun perbedaan antara yang miskin dan yang kaya
makin lama makin besar, sehingga pemikiran-pemikiran seperti kaum sosialis
berpendapat seperti Karl Marx, bahwa yang kaya menjadi lebih kaya, dan yang
miskin menjadi lebih miskin.
E.
TINJAUAN
MENGENAI PERKEMBANGAN STRATEGI PEMBANGUNAN
Pembangunan ekonomi mula-mula
menggunakan tahap “strategi pertumbuhan” dengan berusaha mengejar kenaikan
produksi nasional setinggi mungkin. Strategi tersebut mula-mula juga dikenal
dengan istilah “Growth Strategy on GNP Oriented”. Dalam pertunbuhan ini, kurang
diperhatikan siapa yang berdominasi dalam kegiatan investasi modal maupun
perdagangan. Untuk memungkinkan Growth Strategy ini berkembang prasyarat
stabilitas moneter justru sangat menentukan. Pada mulanya pengejaran terhadap
target GNP yang semata-mata dapat naik memang menakjubkan. Tetapi sejarah
membuktikan, bahwa pada Negara-negara sedang berkembang dengan penduduk yang
sangat besar, ternyata keadaan ini belum memberikan kesempatan yang cukup untuk
golongan kecil terbesar dari penduduk dalam menikmati hasil pembangunan ini.
Karena kenaikan GNP sesungguhnya lebih banyak oleh faktor semu,
karenakeberhasilan golongan besar yang kecil yang telah mendominir
segala-galanya di Negara itu.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak selalu mencerminkan distribusi
pendapatan yang adil dan merata, karena pertumbuhan ekonomi yang tinggi ini
hanya dinikmati oleh sekelompok kecil masyarakat, seperti masyarakat perkotaan,
sedangkan masyarakat pedesaan atau pinggiran mendapat porsi yang kecil dan
tertinggal. Kesenjangan di daerah ini semakin diperburuk karena adanya
kesenjangan dalam pembangunan antar sektor, terutama antara sektor pertanian
(basis ekonomi pedesaan) dan non-pertanian (ekonomi perkotaan).
F.
UPAYA
UNTUK MENGATASI MASALAH EKONOMI
Ekonomi masyarakart biasanya lebih baik
dari pada msyarakat desa. Namun masih perlu di kembangkan dan
tumbuhkan.misalnya masalah kerajinan rumah tangga, industri kecil mapun masalah
perkoperasian.
Untuk mengembangkan kota secara
terus-menerus perlu dijaga dan dikembangkan sarana dan prasarana kota itu
sendiri dengan baik. Misalnya pembangunan jalan pengaturan lalu lintas dan
trnaportasi, pengaturan sekolah-sekolah serta penghijauan kota.
Membantu memberikan kredit investasi
kecil bagi para pedangang berkapital lemah, sehingga dapat diharapkan
menignkatkan usaha (ekonomi) mereka, dan peningkatan pembangunan pasar-pasar
baru (Inpres) agar dapat diusahakan menampung aspirasi permasalahan pedagang
kaki lima dan lain sebagainya.
1.
Partisipasi
Menurut Menurut Adams
Charles (1993), partisipasi masyarakat dalam pembangunan mutlak diperlukan,
tanpa adanya partisipasi masyarakat pembangunan hanyalah menjadikan masyarakat
sebagai objek semata. Salah satu kritik adalah masyarakat merasa “tidak
memiliki” dan “acuh tak acuh” terhadap program pembangunan yang ada. Penempatan
masyarakat sebagai subjek pembangunan mutlak diperlukan sehingga masyarakat
akan dapat berperan serta secara aktif mulai dari perencanaan, pelaksanaan
hingga monitoring dan evaluasi pembangunan. Terlebih apabila kita akan
melakukan pendekatan pembangunan dengan semangat lokalitas. Masyarakat lokal
menjadi bagian yang paling memahami keadaan daerahnya tentu akan mampu
memberikan masukan yang sangat berharga.
Midgley (1986)
menyatakan bahwa partisipasi bukan hanya sekedar salah satu tujuan dari
pembangunan sosial tetapi merupakan bagian yang integral dalam proses
pembangunan sosial. Partisipasi masyarakat berarti eksistensi manusia
seutuhnya. Tuntutan akan partisipasi masyarakat semakin menggejala seiring
kesadaran akan hak dan kewajiban warga negara. Kegagalan pembangunan
berperspektif modernisasi yang mengabaikan partisipasi negara miskin (pemerintah
dan masyarakat) menjadi momentum yang berharga dalam tuntutan peningkatan
partisipasi negara miskin, tentu saja termasuk di dalamnya adalah masyarakat.
Menurut Adams Charles (1993), tuntutan ini semakin kuat seiring semakin kuatnya
negara menekan kebebasan masyarakat. Post-modernisme dapat dikatakan sebagai
bentuk perlawanan terhadap modernisme yang dianggap telah banyak memberikan
dampak negatif daripada positif bagi pembangunan di banyak negara berkembang.
Post-modernisme bukan hanya bentuk perlawanan melainkan memberikan jawaban atau
alternatif model yang dirasa lebih tepat. Pembangunan dengan basis pertumbuhan
ekonomi yang diusung oleh paradigma modernisme memiliki banyak kekurangan dan
dampak negatif. Kesenjangan antar penduduk mungkin saja terjadi sehingga
indikator pertumbuhan ekonomi hanya mencerminkan keberhasilan semu saja.
Akumulasi modal yang berhasil dihimpun sebagian besar merupakan investasi asing
yang semakin memuluskan jalannya kapitalisme global.
2.
Pemberdayaan
Sunyoto Usman (2003)
mengungkapkan bahwa pembangunan yang dilakukan oleh suatu negara pada saat ini
tidak akan dapat lepas dari pengaruh globalisasi yang melanda dunia. Persolan
politik dan ekonomi tidak dapat lagi hanya dipandang sebagai persoalan
nasional. Keterkaitan antar negara menjadi persoalan yang patut untuk
diperhitungkan. Masalah ekonomi atau politik yang dihadapi oleh satu negara
membawa imbas bagi negara lainnya dan permasalahan tersebut akan berkembang
menjadi masalah internasional.
Menurut Soejadi
(2001), kemiskinan merupakan salah satu masalah yang selalu dihadapi oleh
manusia. Kemiskinan dapat didefinisikan sebagai suatu standar tingkat hidup
yang rendah, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau
segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam
masyarakat yang bersangkutan. Standar kehidupan yang rendah ini secara langsung
tampak pengaruhnya terhadap tingkat keadaan kesehatan, kehidupan moral, dan
rasa harga diri dari mereka yang tergolong sebagai orang miskin. Di
negara-negara sedang berkembang, wacana pemberdayaan muncul ketika pembangunan
menimbulkan disinteraksi sosial, kesenjangan ekonomi, degradasi sumber daya
alam, dan alienasi masyarakat dari faktor produksi oleh penguasa
(Prijono, 1996).
Menurut Maria Fraskho,
(2000), konsep pemberdayaan lahir sebagai antitesis terhadap model pembangunan
dan model industralisasi yang kurang memihak pada rakyat mayoritas. Konsep ini
dibangun sebagai kerangka logik sebagai berikut; (1). Proses pemusatan
kekuasaan terbangunan dari pemusatan penguasaan faktor produksi; (2). Pemusatan
kekuasaan faktor produksi akan melahirkan masyarakat pekerja dan masyarakat
pengusaha pinggiran; (3). Keuasaan akan membangun bangunan atas atau sistem
pengetahuan, sistem politik, sistem hukum dan ideologi yang manipulatif, untuk
memperkuat legitimasi; (4). Kooptasi sistem pengetahuan, sistem hukum sistem
politik dan ideologi, secara sistematik akan menciptakan dua kelompok
masyarakat, yaitu masyarakat berdaya dan masyarakat tunadaya. Akhirnya yang
terjadi adalah dikotomi, yaitu masyarakat yang berkuasa dan disisi lain manusia
dikuasai. Untuk membebaskan situasi menguasai dan dikuasai, maka harus
dilakukan pembebesan melalui proses pemberdayaan bagi yang dikuasai (empowerment
of the powerless).
Menurut John Friedman
(1991), Pemberdayaan dapat diartikan sebagai perolehan kekuatan dan akses
terhadap sumber daya untuk mencari nafkah. Bahkan dalam perspektif ilmu
politik, kekuatan menyangkut pada kemampuan untuk mempengaruhi orang lain.
Istilah pemberdayaan sering dipakai untuk menggambarkan keadaan seperti yang
diinginkan oleh individu, dalam keadaan tersebut masing-masing individu
mempunyai pilihan dan kontrol pada semua aspek kehidupannya. Menurut Sastroputo
Santoso, (1998), konsep ini merupakan bentuk penghargaan terhada manusia atau
dengan kata lain “memanusiakan manusia”. Melalui pemberdayaan akan timbul
pergeseran peran dari semula “korban pembangunan” menjadi “pelaku pembangunan”.
Perpektif pembangunan memandang pemberdayaan sebagai sebuah konsep yang sangat
luas. Pearse dan Stiefel dalam Prijono (1996) menjelaskan bahwa pemberdayaan
partisipatif meliputi menghormati perbedaan, kearifan lokal, dekonsentrasi
kekuatan dan peningkatan kemandirian.
3.
Partisipasi dan Pemberdayaan
Menurut Hadiwinata dan
Bob S (2003), Partisipasi dan pemberdayaan merupakan dua buah konsep yang
saling berkaitan. Untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat diperlukan upaya
berupa pemberdayaan. Masyarakat yang dikenal “tidak berdaya” perlu untuk dibuat
“berdaya” dengan menggunakan berbagai model pemberdayaan. Dengan proses
pemberdayaan ini diharapkan partisipasi masyarakat akan meningkat. Partisipasi
yang lemah dapat disebabkan oleh kekurangan kapasitas dalam masyarakat
tersebut, sehingga peningkatan kapasitas perlu dilakukan.
Sedangkan menurut
Evers Hans-Dieter (1993), pemberdayaan yang memiliki arti sangat luas tersebut
memberikan keleluasaan dalam pemahaman dan juga pemilihan model pelaksanannya
sehingga variasi di tingkat lokalitas sangat mungkin terjadi. Menurut Moeljarto
(1997), konsep partisipasi dalam pembangunan di Indonesia mempunyai tantangan
yang sangat besar. Model pembangunan yang telah kita jalani selama ini tidak
memberikan kesempatan pada lahirnya partisipasi masyarakat. Menurut Purnaweni
Hartuti oleh karenanya diperlukan upaya “membangkitkan partisipasi” masyarakat
tersebut. Solusi yang bisa dilakukan adalah dengan memberdayakan masyarakat
sehingga masyarakat akan berpartisipasi secara langsung terhadap pembangunan.
Membangun Ekonomi Kerakyatan dan Penyerapan Tenaga Kerja
Pembangunan
di bidang ekonomi seharusnya lebih difokuskan pada penguatan ekonomi berbasis
kerakyatan dengan menumbuhkan semangat wirausaha , menciptakan iklim usaha yang
kondusif, pembinaan koperasi dan unit-unit ekonomi kerakyatan lainnya, hingga
upaya-upaya untuk mempermudah akses modal dan akses pasar bagi produk-produk
usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).
Upaya
menekan angka pengangguran dan penyaluran angkatan kerja perlu dilakukan dengan
menggalang kerjasama yang baik dengan sektor swasta dan masyarakat, diantaranya
dengan pembukaan Balai Latihan Kerja (BLK) dan pengembangan sekolah-sekolah
kejuruan dengan konsep link and match dengan pasar tenaga
kerja, serta melakukan kerjasama dengan lembaga-lembaga pendidikan dan
ketrampilan lokal untuk menghasilkan tenaga kerja yang trampil dan atau
memiliki motivasi kuat untuk berwirausaha dan membuka lapangan kerja bagi orang
lain.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pendekatan dan bantuan yang sifatnya
pengembangan, umumnya berbentuk pembentukkan dan pemberdayakan kelompok usaha
ekonomi masyarakat baik yang berskala kecil maupun mikro. Garis besarnya,
pemerintah menyuntikkan modal dan memberi pendampingan. Suatu program biasanya
mencakup pula pelatihan ketrampilan, kewirausahaan, manajemen, yang disertai
pula dengan pendampingan. Asal sumber dananya yang dari APBN maupun hutang dari
lembaga donor seperti Bank Dunia.
Komitmen Pemerintah Kota untuk
mengembangkan ekonomi rakyat tidak diragukan lagi. Setiap masyarakat dibentuk
kelompok, diberi modal, motivasi berwirausaha, kapasitas manajerialnya
ditingkatkan, aktivitasnya didampingi, serta dikontrol kinerjanya. masyarakat
yang berkuasa dan disisi lain manusia dikuasai. Untuk membebaskan situasi
menguasai dan dikuasai, maka harus dilakukan pembebesan melalui proses
pemberdayaan bagi yang dikuasai (empowerment of the powerless).
B. SARAN
Tidak
lepas dari urusan pemerintah daerah adalah memberikan perhatian pada para
buruh. Sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari komponen masyarakat,
pemerintah perlu memberikan penghargaan berupa dukungan bagi peningkatan
kualitas hidup dan kesejahteraan sosial para buruh dan keluarganya agar dapat
mengambil peran dan berkontribusi dalam pembangunan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar